Dugaan Penganiayaan Anak di Daycare Memicu Perdebatan tentang Pekerja Perempuan

Dugaan Penganiayaan Anak di Daycare Memicu Perdebatan tentang Pekerja Perempuan

Kasus dugaan penganiayaan anak di Depok, Jawa Barat telah memicu perdebatan tentang pekerja perempuan yang menitipkan anaknya di daycare.
Dalam perkembangan terbaru, salah satu anak yang menjadi korban dugaan penganiayaan di sebuah daycare di Depok masih menjalani pemulihan psikologis secara insentif.
Kepolisian masih mengembangkan penyelidikan dan berencana memintai keterangan dari 10 wali dari anak yang mendapat layanan di daycare tersebut.
Seorang Komisioner dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, tidak menutup menutup kemungkinan “korban bertambah” seiring adanya laporan terbaru.
Pemilik daycare di Depok berinisial MI telah ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.

Bagaimana kondisi korban saat ini?

Kuasa hukum dari salah satu orang tua korban, Leon Maulana Mirza mengatakan anak masih dalam proses pemulihan psikologis menyusul dugaan penganiayaan yang ia alami di sebuah daycare di Depok, Jawa Barat.
“Anak ini apabila bertemu dengan orang baru, orang yang tidak dikenal, dia akan lebih protektif. Bahkan disentuh saja dia takut. Dia akan menangis. Mungkin karena mengingat memori-memori pernah dianiaya oleh seseorang,” katanya.
Saat ini, kata Leon, anak yang diduga menjadi korban penganiayaan itu masih menjalani pemulihan dibantu Unit Pelaksana Teknis Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD-PPPA) Kota Depok.
“Saat ini masih berjalan juga konselingnya. Agar ada terapi healing (pemulihan) di situ, anak bisa secara psikis normal kembali. Dan juga orang tua juga secara psikisnya dapat normal kembali,” katanya.
Hal yang menjadi harapan orang tua selain pemulihan anaknya, kata Leon, adalah “Keluarga meminta agar pelaku disanksi seberat-beratnya” agar ada efek jera.
“Tidak ada kata damai untuk proses hukum,” katanya.
Ia melanjutkan, kliennya sudah meminta perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), termasuk sejumlah saksi yang diduga menjadi peniup pluit dalam kasus ini.
Sejauh ini, kata Leon, kuasa hukum juga sedang menjangkau mendampingi korban anak lain yang berusia delapan bulan.

Bagaimana kronologi dugaan penyiksaan anak di daycare Depok?

Menurut keterangan Kepolisian Depok, kasus ini terjadi pada 10 Juni lalu. Lalu pada 24 Juli seorang saksi memberikan keterangan pada orang tua korban bahwa anaknya mengalami penyiksaan.
Orang tua korban kemudian membuat laporan ke polisi pada 29 Juli berbekal bukti adanya memar pada tubuh anaknya.
Berdasarkan keterangan orang tua yang melaporkan kasus ini pada 30 Juli ke KPAI, anaknya mendapat kekerasan berupa “pemukulan di beberapa bagian tubuh, lalu ditendang sampai dia jatuh, sampai dia tersungkur.”
Mereka juga mengeklaim telah mengantongi bukti berupa CCTV yang menggambarkan deskripsi tersebut, seperti dikutip dari Detik. Video ini tersebar luas di internet.
Setelah itu, pada Rabu (31/07) malam, kepolisian menangkap serta menetapkan MI, pemilik daycare di kawasan Depok sebagai tersangka.
Kapolres Metro Depok Komisaris Besar Arya Perdana mengatakan kepolisian telah memeriksa empat saksi.
“Kami juga sudah mendapatkan keterangan yang cukup, yang valid,” katanya kepada wartawan.
Kepolisian menuduh MI melakukan penganiayaan terhadap seorang anak berusia dua tahun dan bayi delapan bulan.
Polisi menjerat MI dengan Undang Undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Ia melanjutkan, korban yang masih bayi diduga mengalami dislokasi pada kakinya, tapi polisi masih menunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut dari tim dokter.
Dalam keterangan lainnya, Arya juga menyebutkan terdapat 10 anak yang mendapat layanan di daycare milik MI. Namun, kepolisian belum bisa memastikan apakah selain dua anak, terdapat korban lainnya.
“Nah, kita masih berupaya untuk mencari tahu 10 anak ini siapa karena petugas administrasinya kan sampai saat ini belum datang ke sini, jadi kita mau cari 10 anak ini siapa,” kata Arya, Jumat (02/08) seperti dikutip dari Detik.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, mengatakan tidak menutup kemungkinan jumlah anak korban penganiayaan di sebuah daycare di Depok, Jawa Barat bertambah.
“Kemarin ada dua lagi anak-anak yang menjadi korban, kemudian orang tua melaporkan… Tetapi tidak menutup kemungkinan akan bertambah,” katanya sambil mengeklaim pihaknya mendapat pengaduan terbaru.
Ia juga mengingatkan bagi orang tua lain “jangan takut untuk melapor“ jika menemukan indikasi penyiksaan terhadap anaknya.
Selain itu, Diyah juga menyoroti legalitas dari daycare tersebut yang menurut klaimnya “belum berizin“.
“Belum punya NIB (Nomor Induk Berusaha), kemudian juga izinnya hanya izin PAUD. Nah ini kan berbahaya sekali. Kalau daycare ini sudah berizin, tentunya kan proses untuk perizinan itu kan tidak mudah,“ katanya.
Menurutnya, daycare yang berizin memiliki standar yang harus dipenuhi seperti membuat laporan berkala ke dinas pendidikan setempat, memiliki rasio pendamping, ukuran ruangan kelas, sampai fasilitas belajar.
Namun, terlepas dari itu, tak sedikit juga layanan daycare yang belum memiliki izin usaha berdiri di lingkungan. Menurut Diyah, orang tua setidaknya memilih daycare “terbuka“ di mana mereka dapat mengakses CCTV secara waktu nyata.
“Sebenarnya kembali kepada pengawasan saja,“ katanya.

Pendapat miring terhadap pekerja perempuan

Video dugaan penyiksaan yang melibatkan MI dan korban anak-anak bersirkulasi di media sosial, memicu kemarahan warganet.
Tak sedikit mengecam tindakan MI, sampai penghakiman menurut versinya sendiri-sendiri. Ada pula yang membagikan pengalaman terkait menggunakan layanan daycare.
Juga, sejumlah warganet yang seakan menyalahkan pekerja perempuan yang menitipkan anaknya di daycare.
Hal ini mendapat reaksi dari kalangan pekerja perempuan, seperti Eka Oktaviani yang sudah lima tahun belakangan menggunakan layanan daycare untuk anaknya.
“Kesal,“ kata Eka menanggapi komentar warganet yang melebarkan isu pada perempuan yang bekerja.
Ia menambahkan, “orang tua itu kan korban sesungguhya. Jadi, ya memang harus semuanya (kesalahan) itu diarahkan ke pelaku.“
Perempuan 33 tahun ini menyadari ibu yang memilih selalu mendampingi anaknya yang masih kecil merupakan “keistimewaan“, namun bagi mereka yang bekerja, sejauh ini daycare menjadi pilihan yang paling “unggul“.
“Jujur, saya sangat terbantu sama daycare, tumbuh kembang anak saya sangat bagus di daycare. Jadi, harapannya sih, dengan ada isu yang dilakukan oleh 1-2 orang, orang tua nggak akan turun kepercayaannya terhadap daycare.
Karena kan, kalau misalnya, ngomongin skup yang lebih luas gitu ya, ibu bekerja, itu kan, ngomongin pergerakan ekonomi juga,“ katanya.
Sejauh ini pilihan daycare Eka, cukup membuatnya “puas“ karena terdapat standar yang jelas. Ia membagikan pengalamannya selama menggunakan layanan daycare pilihannya:
  • Akses CCTV secara langsung kepada orang tua di hampir seluruh ruangan
  • Mendapat laporan harian aktivitas anak
  • Pengukuran suhu badan saat absen masuk dan keluar daycare
  • Daycare tidak mengumbar foto anak ke media sosial untuk kebutuhan iklan
  • Fasilitas ruangan yang layak
  • Kebersihan
  • Menu makanan yang rinci
“Artinya daycare, menurut saya lebih dari sekedar jasa ya, tapi benar-benar bisa dijadikan partner untuk mengasuh anak,” kata Eka.
Direktur Institut KAPAL Perempuan, Budhis Utami, berpendapat pandangan miring terhadap perempuan yang bekerja dalam kasus penitipan anak di daycare menandakan “kuatnya budaya patriarki” di Indonesia.
“Ada konstruksi bahwa perempuan yang harus mengurus anak. Itulah yang membuat kalau ada masalah dengan anak, itu salahnya perempuan,” kata Budhis, sambil menambahkan semestinya urusan anak adalah urusan laki-laki dan perempuan tanpa membedakan gender.
Cap perempuan sebagai penanggung jawab satu-satunya urusan domestik, juga terus dibangun melalui pendapat sebagian pesohor dan syiar keagamaan, kata Budhis. Dengan demikian, perempuan dalam “situasi disalah-salahkan”.
“Kalau dia punya anak, seluruh cita-citanya itu harus dihambat karena harus berfokus pada anak. Pilih enggak punya anak, dianggap penjahat, melanggar kodrat. Kalau dia enggak kerja, anaknya enggak makan, enggak sehat. Kalau dia bekerja, anak dianggap menelantarkan anaknya,” kata Budhis.
Ia juga menyinggung tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Indonesia yang di antaranya mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dengan komposisi jumlah perempuan di Indonesia hampir 50% semestinya stigma negatif terhadap pererempuan yang bekerja bisa ditekan.
“Perempuan nggak disuruh ngapa-ngapain, disuruh di rumah saja, bangsamu mau jadi apa? Kan banyak perempuan pintar-pintar, segala macam,” katanya.
Kembali ke daycare, yang menurut Budhis sudah menjadi kebutuhan perempuan yang bekerja. Dalam kasus di Depok, semestinya persoalannya berfokus pada “pengawasan dan bagaimana bisa dikatakan orangnya (tersangkanya) justru bermasalah”.
Lebih dari itu, ia juga melihat pentingnya negara memfasilitasi orang tua yang bekerja sambil merawat anaknya yang masih kecil.
“Karena seharusnya kalau kantor-kantor pemerintahan dan swasta, itu kan sebenarnya wajib untuk memberikan tempat penitipan anak kalau mereka punya perspektif gender, baik si pekerja perempuan atau laki-laki,” jelas Budhis.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours